Thursday, 8 October 2015

Sultan Hasanuddin Banten versi Cirebonan

Biografi Sultan Maulana Hasanudin

SULTAN HASANUDIN BANTEN
SULTAN HASANUDIN BANTEN
Prabu Siliwangi yang merupakan maharaja Tatar Sunda mempunyai beberapa anak  dari  Kentring Manik Mayang Sunda yang merupakan anak dari Prabu Susuk Tunggal, yaitu Prabu Sanghyang Surawisesa yang merupakan raja di Pakuan dan Sang Surosowan yang dijadikan adipati di pesisir Banten. Dari Sang Surosowan mempunyai dua orang anak yaitu: Sang Arya Surajaya dan Nhai Kawung Anten.

Dalam Babad Cirebon disebutkan ketika Syarif Hidayattulah baru datang dari Mesir dan singgah di Cirebon menemui Uwa-nya bernama Pangeran Cakrabuana alias Raden Walang Sungsang yang juga putra Prabu Siliwangi yang mendirikan kadipaten Pakungwati, lalu mereka pergi ke Banten untuk menyebarkan agama Islam. Di Banten Syarif Hidayattulah kemudian menikah dengan Nyai Kawung Anten yang merupakan anak dari Sang Surosowan,  dengan demikian mereka itu adalah sama-sama cucu dari Prabu Siliwangi, meski dari ibu yang berbeda. Dari hasil perkawinan mereka mempunyai anak yang bernama Maulana Hasanudin, yang lahir di tahun 1478 Masehi, yang merupakan penyebar agama Islam di Banten dan pendiri Kesultanan Banten.

Sementara itu, tentang Pucuk Umun, ada dua Pucuk Umun. Pucuk Umun Kerajaan Wahanten Girang adalah Sang Adipati Suranggana. Sedangkan Pucuk Umun Kerajaan Wahanten Pasisir adalah Sang Adipati Surosowan. Kedua Pucuk Umun tersebut adalah putera Sri Baduga Maharaja Pajajaran (1482-1521 Masehi), dari permaisuri Kentring Manik Mayang Sunda. Sang Adipati Surosowan, mempunyai seorang puteri bernama Kawung Anten, berjodoh dengan Syarif Hidayatullah, kemudian mempunyai anak laki-laki. Oleh kakeknya diberi nama Pangeran Sabakingking, oleh ayahnya diberi nama Hasanuddin. Dari peristiwa ini, dapat ditarik kesimpulan, bahwa Sang Adipati Surosowan, sebagaimana ayahnya, sangat toleran terhadap pemeluk agama Islam.

Dari alur darah ibunda Kawung Anten, Hasanuddin adalah cicitnya Sri Baduga Maharaja Pajajaran (Prabu Siliwangi). Dari alur darah ayahanda Syarif Hidayatullah, Hasanuddin pun sama, sebagai cicit Sri Baduga Maharaja. Sebab, Syarif Hidayatullah, adalah putera Larasantang (Hajjah Syarifah Muda’im) yang berjodoh dengan Walikota Mesir Syarif Abdullah. Larasantang alias Hajjah Syarifah Muda’im, adalah puterinya Sri Baduga Maharaja Pajajaran (Prabu Siliwangi) dari permaisuri Subanglarang (alumni Pondok Quro, Pura Dalem Karawang, pemeluk Islam mazhab Hanafi).

Larasantang alias Hajjah Syarifah Muda’im adalah neneknya Hasanuddin. Sedangkan Larasantang adalah adik kandung Pangeran Cakrabuana alias Haji Abdullah Iman. Pangeran Cakrabuana adalah putera sulung Sri Baduga Maharaja Pajajaran (Prabu Siliwangi) dari permaisuri Subanglarang, pendiri Kerajaan Islam Pakungwati Cirebon. Berdasarkan silsilah keturunan, dari pihak ibu maupun dari pihak ayah, Hasanuddin memiliki alur darah yang kuat, sebagai salah seorang Pangeran calon pewaris tahta Kerajaan (Sunda) Pajajaran.

Ketika Pucuk Umun Wahanten Pasisir, Sang Adipati Surosowan wafat, digantikan oleh puteranya, Sang Arya Surajaya (kakaknya Kawung Anten, uwanya Hasanuddin). Pada masa ini, posisi Syarif Hidayatullah sudah menjadi penguasa kedua Kerajaan Islam Pakungwati Cirebon, menggantikan Pangeran Cakrabuana, dengan gelar Susuhunan Jati Cirebon (Sunan Gunung Jati).

Kemudian Hasanuddin, meneruskan posisi ayahnya, sebagai Ulama Besar penyiar Agama Islam di Wahanten Pasisir, bergelar Syeh Maulana Hasanuddin.

Pucuk Umun Wahanten Girang, Sang Adipati Arya Suranggana, secara kekerabatan, masih “terhitung kakeknya” Syeh Maulana Hasanuddin. Sang Adipati Arya Suranggana, adalah Pucuk Umun pertama di Wahanten yang memeluk agama Islam. Sang Pucuk Umun Wahanten Girang ini, muridnya Syeh Ali Rakhmatullah, Ulama Islam dari Campa, yang pernah bermukim di Wahanten, sebelum kedatangan Syeh Syarif Hidayatullah. Oleh Ali Rakhmatullah, Sang Adipati Arya Suranggana diberi nama gelar Ki Bagus Maolana. Sesungguhnya, berdasarkan fakta sejarah, dialah tokoh pertama pemeluk agama Islam di bumi Wahanten (Banten).

Pada tahun 1521 Masehi, Sri Baduga Maharaja Pajajaran (Prabu Siliwangi) wafat, digantikan oleh puteranya, Prabu Sanghiyang Surawisesa. Ia kakak kandung Pucuk Umun Wahanten Pasisir, Sang Adipati Surasowan. Sepeninggal tokoh besar Sri Baduga Maharaja, di seluruh wilayah Kerajaan (Sunda) Pajajaran, terjadi gejolak politik pemerintahan. Sultan Demak (yang berbesan dengan Susuhunan Pakungwati Cirebon), merasa khawatir oleh kemajuan Kerajaan Wahanten Girang dan Wahanten Pasisir yang menguasai perairan wilayah barat Laut Jawa, Selat Sunda dan Selat Malaka. Ditambah pula adanya hubungan bilateral perjanjian dagang antara Pajajaran-Portugis 21 Agustus 1552.

Untuk melumpuhkan niaga laut Wahanten Pasisir, Sultan Demak memerintahkan Senopati Fadillah Khan (Falatehan alias Fatahillah alias Ki Fadil alias Tagaril), untuk memimpin pasukan aliansi Demak-Pakungwati, untuk menyerang Kerajaan Wahanten Pasisir. Serangan tersebut, didahului oleh Syeh Maolana Hasanuddin, yang mendapat bantuan dari pasukan Wahanten Girang, atas perintah Sang Adipati Suranggana alias Ki Bagus Maolana.

Digempur dari sejala arah, akhirnya Keraton Wahanten Pasisir dapat dikuasai sepenuhnya, dan Sang Adipati Arya Surajaya bersama kerabat keraton tewas binasa. Kemudian, atas nama Susuhunan Jati Cirebon (Syarif Hidayatullah), Syeh Maolana Hasanuddin, oleh Panglima Fadillah Khan diwisuda menjadi Adipati (Bupati) Wahanten Pasisir. Kemudian, atas inisiatif Ki Bagus Maolana, Kerajaan Wahanten Girang dan Wahanten Pasisir digabung menjadi satu, dengan mewisuda Adipati Maolana Hasanuddin sebagai penguasa tunggal Kerajaan Wahanten (Girang-Pasisir), dengan gelar Panembahan (Ulama merangkap Umaro). Status Panembahan Maolana Hasanuddin, adalah sebagai raja daerah di bawah kekuasaan ayahanda Syarif Hidayatullah (Susuhunan Jati Cirebon). Peristiwa tersebut, berlangsung pada tahun 1526 Masehi.

Untuk memperkuat posisi pemerintahannya, Panembahan Maulana Hasanuddin mendirikan keraton yang indah dan megah, terletak di jantung kota di wilayah Wahanten Pasisir (yang sekarang disebut “Banten Lama”). Untuk mengenang jasa kakeknya, keraton tersebut diberi nama Surosowan. Sebutan untuk keraton, di kemudian hari, berkembang menjadi sebutan wilayah kerajaan. Hal ini sejalan dengan kajian epigraphy prasasti tembaga yang berhuruf Arab, yang dibuat oleh Sultan Haji alias Sultan Abdul Nasr (1683-1687 Masehi), bahwa nama resmi kerajaan Islam di Banten adalah Negeri Surasowan.

Pada masa pemerintahan Panembahan Maulana Hasanuddin di Wahanten (Banten), para kongsi dagang Portugis sudah jadi mitra niaga. Menurut catatan Fernao Mendes Pinto (Jurnalis Portugis), pada masa pemerintahan Panembahan Maolana Hasanuddin, Sultan Demak pernah meminta bantuan Wahanten untuk menyerbu Pasuruan. Maka pada tanggal 5 Januari 1546, pasukan Wahanten beserta 46 orang tentara Portugis, berangkat dari perairan Banten menuju wilayah timur, bergabung dengan pasukan Sunda Kalapa (Jakarta), Pakuwati Cirebon dan Demak.

Perlu dicermati, berdasarkan catatan Tome Pires dan Fernao Mendes Pinto, para niagawan laut Portugis, dalam pelayarannya tidak menyertakan Missionaris (Pendeta) penyebar agama Kristen. Mereka pedagang murni, tanpa bekal kemahiran untuk berperan sebagai penyebar agama Kristen.

Pada saat itu, penguasa Kerajaan (Sunda) Pajajaran sudah beralih ke tangan Prabu Nilakendra (1551-1567 Masehi). Ia penguasa ke-5 di Kerajaan Pajajaran. Menurut naskah kuno Carita Parahiyangan, Prabu Nilakendra sudah mencampakkan religi Sunda Pajajaran yang diwariskan oleh leluhurnya. Ia menganut kepercayaan Tantrayana. Setiap saat, di Keraton Pakuan dimeriahkan oleh pesta pora. Makan enak sambil minum-minum air memabukan sebagai penyedap makanan, untuk mengawali upacara spiritual Tantrayana. Tidak ada ilmu yang disukainya, kecuali perihal makanan lezat yang sesuai dengan kekayaannya.

Bagi Sultan Maulana Hasanuddin, sebagai cicit Sri Baduga Maharaja, sebagai pewaris tahta Kerajaan Pajajaran, melihat keberadaan kota Pakuan seperti itu, merasa tidak berkenan. Pada tahun 1567 Masehi, Panembahan Maolana Hasanuddin mengadakan serangan besar-besaran ke jantung ibukota Pakuan. Prabu Nilakendra tewas dalam pengungsian.

Syarif Hidayatullah Susuhunan Jati Cirebon (ayahanda Panembahan Maulana Hasanuddin) wafat pada tanggal 19 September 1568 Masehi. Untuk menggantikan Syarif Hidayatullah di Keraton Pakungwati Cirebon, terjadi kemelut, disebabkan anak dan cucunya sebagai pewaris tahta telah meninggal mendahuluinya. Akhirnya, Senopati Demak Fadillah Khan, diangkat menjadi Sultan ke-3 Pakungwati Cirebon.

Panembahan Maulana Hasanuddin, tentunya merasa tidak berkenan. Sebab Fadillah Khan orang Samudra Pasai yang juga warga Kerajaan Demak. Kekerabatannya dengan Pakungwati Cirebon, hanya disebabkan sebagai menantu Syarif Hidayatullah. Sesungguhnya, Panembahan Maolana Hasanuddin lebih berhak atas tahta Pakungwati Cirebon. Oleh sebab itu, Panembahan Maolana Hasanuddin memproklamirkan negerinya, sebagai Wahanten Mahardhika (Banten Merdeka), tidak lagi menjadi bawahan Pakungwati Cirebon. Ia sendiri menyatakan sebagai Sultan Kerajaan Islam Surasowan Wahanten yang pertama.

Sultan Maulana Hasanuddin wafat pada tahun 1570 Masehi dalam usia 92 tahun. Digantikan oleh puteranya, Sultan Maulana Yusuf. Pada saat yang sama, Fadillah Khan wafat, digantikan oleh Panembahan Ratu, sebagai penguasa ke-4 Pakungwati Cirebon. Menurut catatan Sutjipto, Halwani Michrob, Pane, Uka Tjandrasasmita, Hoesein Djajadiningrat: Pada masa pemerintahan Sultan Maolana Yusuf, Kerajaan Islam Surasowan Wahanten (Banten), berkembang pesat. Strategi pembangunan lebih dititikberatkan pada pengembangan kota, keamanan wilayah, perdagangan dan pertanian.

Sedangkan penguasa di Kerajaan (Sunda) Pajajaran sudah beralih ke tangan Prabu Ragamulya Suryakancana (1567-1579 Masehi). Raja terakhir ini sudah tidak tinggal di kota Pakuan (Bogor). Ia memindahkan ibukota pemerintahannya ke wilayah gunung Pulasari Pandeglang. Ia menjadi rajaresi tanpa mahkota, berfungsi sebagai raja kecil, hanya bergelar Pucuk Umun Pulasari.

Setelah 9 tahun menata negerinya, Sultan Maulana Yusuf bersama pasukan Surasowan Wahanten (Banten), menggempur jantung ibukota Pakuan (Bogor). Tapi penghuni kota Pakuan sudah menyingkir dan mengungsi. Sultan Maolana Yusuf hanya memboyong Watugilang sebagai lambang penobatan raja-raja Pajajaran.

Serangan dilanjutkan ke wilayah pertahanan terakhir sisa laskar Pajajaran di lereng gunung Pulasari Pandeglang. Dalam pertempuran yang tidak berimbang, Prabu Ragamulya Suryakancana beserta pengikutnya yang setia, semua tewas binasa.

Kerajaan (Sunda) Pajajaran lenyap dari muka bumi pada tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka, bertepatan dengan tanggal 11 Rabi’ul Awal 987 Hijriyah, atau tanggal 8 Mei 1579 Masehi.

Kesimpulan. Peristiwa penaklukan Kerajaan Sunda Pajajaran, oleh Sultan Maulana Hasanuddin maupun oleh Sultan Maolana Yusuf, tidak didasari oleh “arogansi” penyebaran agama Islam. Sultan Maulana Hasanuddin ataupun Sultan Maulana Yusuf, sama-sama memiliki terah dan pewaris tahta Kesultanan Islam Pakungwati Cirebon, sekaligus pewaris tahta Kerajaan Pajajaran.

Catatan terakhir. Menurut hasil penelitian antropologis, etnis Sunda Wiwitan di Mandala Kanekes (Baduy?!), ternyata bukan pelarian dari kota Pakuan, juga bukan pelarian dari gunung Pulasari, bukan pelarian dari Kerajaan Pajajaran. Hanya karena Kebesaran dan Kemurahan Allah Yang Maha Kuasa, mereka sudah ada sebelum kerajaan-kerajaan di bumi Wahanten ini berdiri. Sehingga di dalam diskusi Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS), tentang “Baduy” di Gedung Merdeka Bandung, Haji Usep Romli berpendapat, “Kalau begitu, orang Baduy itu sudah Islami sebelum Islam Nabi Muhammad SAW disebarkan”. Wallohualam bisshawab!

Wednesday, 7 October 2015

SEJARAH BANTEN

Sejarah Kesultanan Banten


Kesultanan Banten adalah sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di Tatar Pasundan, Provinsi Banten, Indonesia. Berawal sekitar tahun 1526, ketika Kerajaan Demak memperluas pengaruhnya ke kawasan pesisir barat Pulau Jawa, dengan menaklukan beberapa kawasan pelabuhan kemudian menjadikannya sebagai pangkalan militer serta kawasan perdagangan.

Maulana Hasanuddin, putera Sunan Gunung Jati berperan dalam penaklukan tersebut. Setelah penaklukan tersebut, Maulana Hasanuddin mendirikan benteng pertahanan yang dinamakan Surosowan, yang kemudian hari menjadi pusat pemerintahan setelah Banten menjadi kesultanan yang berdiri sendiri.

Selama hampir 3 abad Kesultanan Banten mampu bertahan bahkan mencapai kejayaan yang luar biasa, yang diwaktu bersamaan penjajah dari Eropa telah berdatangan dan menanamkan pengaruhnya. Perang saudara, dan persaingan dengan kekuatan global memperebutkan sumber daya maupun perdagangan, serta ketergantungan akan persenjataan telah melemahkan hegemoni Kesultanan Banten atas wilayahnya. Kekuatan politik Kesultanan Banten akhirnya runtuh pada tahun 1813 setelah sebelumnya Istana Surosowan sebagai simbol kekuasaan di Kota Intan dihancurkan, dan pada masa-masa akhir pemerintahannya, para Sultan Banten tidak lebih dari raja bawahan dari pemerintahan kolonial di Hindia Belanda.

Pembentukan awal Banten


Pada awalnya kawasan Banten juga dikenal dengan Banten Girang merupakan bagian dari Kerajaan Sunda. Kedatangan pasukan Kerajaan Demak di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin ke kawasan tersebut selain untuk perluasan wilayah juga sekaligus penyebaran dakwah Islam. Kemudian dipicu oleh adanya kerjasama Sunda-Portugal dalam bidang ekonomi dan politik, hal ini dianggap dapat membahayakan kedudukan Kerajaan Demak selepas kekalahan mereka mengusir Portugal dari Melaka tahun 1513. Atas perintah Trenggana, bersama dengan Fatahillah melakukan penyerangan dan penaklukkan Pelabuhan Kelapa sekitar tahun 1527, yang waktu itu masih merupakan pelabuhan utama dari Kerajaan Sunda.

Selain mulai membangun benteng pertahanan di Banten, Maulana Hasanuddin juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung. Ia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu ia juga telah melakukan kontak dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan Inderapura), Sultan Munawar Syah dan dianugerahi keris oleh raja tersebut.

Seiring dengan kemunduran Demak terutama setelah meninggalnya Trenggana, Banten yang sebelumnya bagian dari Kerajaan Demak, mulai melepaskan diri dan menjadi kerajaan yang mandiri. Maulana Yusuf anak dari Maulana Hasanuddin, naik tahta pada tahun 1570 melanjutkan ekspansi Banten ke kawasan pedalaman Sunda dengan menaklukkan Pakuan Pajajaran tahun 1579. Kemudian ia digantikan anaknya Maulana Muhammad, yang mencoba menguasai Palembang tahun 1596 sebagai bagian dari usaha Banten dalam mempersempit gerakan Portugal di nusantara, namun gagal karena ia meninggal dalam penaklukkan tersebut.

Pada masa Pangeran Ratu anak dari Maulana Muhammad, ia menjadi raja pertama di Pulau Jawa yang mengambil gelar "Sultan" pada tahun 1638 dengan nama Arab Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir. Pada masa ini Sultan Banten telah mulai secara intensif melakukan hubungan diplomasi dengan kekuatan lain yang ada pada waktu itu, salah satu diketahui surat Sultan Banten kepada Raja Inggris, James I tahun 1605 dan tahun 1629 kepada Charles I.

Puncak kejayaan Banten


Kesultanan Banten merupakan kerajaan maritim dan mengandalkan perdagangan dalam menopang perekonomiannya. Monopoli atas perdagangan lada di Lampung, menempatkan penguasa Banten sekaligus sebagai pedagang perantara dan Kesultanan Banten berkembang pesat, menjadi salah satu pusat niaga yang penting pada masa itu. Perdagangan laut berkembang ke seluruh Nusantara, Banten menjadi kawasan multi-etnis. Dibantu orang Inggris, Denmark dan Tionghoa, Banten berdagang dengan Persia, India, Siam, Vietnam, Filipina, Cina dan Jepang.

Masa Sultan Ageng Tirtayasa (bertahta 1651-1682) dipandang sebagai masa kejayaan Banten. Di bawah dia, Banten memiliki armada yang mengesankan, dibangun atas contoh Eropa, serta juga telah mengupah orang Eropa bekerja pada Kesultanan Banten. Dalam mengamankan jalur pelayarannya Banten juga mengirimkan armada lautnya ke Sukadana atau Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan Barat sekarang) dan menaklukkannya tahun 1661. Pada masa ini Banten juga berusaha keluar dari tekanan yang dilakukan VOC, yang sebelumnya telah melakukan blokade atas kapal-kapal dagang menuju Banten.

Perang saudara di Banten


Sekitar tahun 1680 muncul perselisihan dalam Kesultanan Banten, akibat perebutan kekuasaan dan pertentangan antara Sultan Ageng dengan putranya Sultan Haji. Perpecahan ini dimanfaatkan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang memberikan dukungan kepada Sultan Haji, sehingga perang saudara tidak dapat dielakkan. Sementara dalam memperkuat posisinya, Sultan Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul Qahar juga sempat mengirimkan 2 orang utusannya, menemui Raja Inggris di London tahun 1682 untuk mendapatkan dukungan serta bantuan persenjataan. Dalam perang ini Sultan Ageng terpaksa mundur dari istananya dan pindah ke kawasan yang disebut dengan Tirtayasa, namun pada 28 Desember 1682 kawasan ini juga dikuasai oleh Sultan Haji bersama VOC. Sultan Ageng bersama putranya yang lain Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf dari Makasar mundur ke arah selatan pedalaman Sunda. Namun pada 14 Maret 1683 Sultan Ageng tertangkap kemudian ditahan di Batavia.

Sementara VOC terus mengejar dan mematahkan perlawanan pengikut Sultan Ageng yang masih berada dalam pimpinan Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf. Pada 5 Mei 1683, VOC mengirim Untung Surapati yang berpangkat letnan beserta pasukan Balinya, bergabung dengan pasukan pimpinan Letnan Johannes Maurits van Happel menundukkan kawasan Pamotan dan Dayeuh Luhur, di mana pada 14 Desember 1683 mereka berhasil menawan Syekh Yusuf. Sementara setelah terdesak akhirnya Pangeran Purbaya menyatakan menyerahkan diri. Kemudian Untung Surapati disuruh oleh Kapten Johan Ruisj untuk menjemput Pangeran Purbaya, dan dalam perjalanan membawa Pangeran Purbaya ke Batavia, mereka berjumpa dengan pasukan VOC yang dipimpin oleh Willem Kuffeler, namun terjadi pertikaian di antara mereka, puncaknya pada 28 Januari 1684, pos pasukan Willem Kuffeler dihancurkan, dan berikutnya Untung Surapati beserta pengikutnya menjadi buronan VOC. Sedangkan Pangeran Purbaya sendiri baru pada 7 Februari 1684 sampai di Batavia.

Penurunan Kesultanan Banten


Bantuan dan dukungan VOC kepada Sultan Haji mesti dibayar dengan memberikan kompensasi kepada VOC di antaranya pada 12 Maret 1682, wilayah Lampung diserahkan kepada VOC, seperti tertera dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten. Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung. Selain itu berdasarkan perjanjian tanggal 17 April 1684, Sultan Haji juga mesti mengganti kerugian akibat perang tersebut kepada VOC.

Setelah meninggalnya Sultan Haji tahun 1687, VOC mulai mencengkramkan pengaruhnya di Kesultanan Banten, sehingga pengangkatan para Sultan Banten mesti mendapat persetujuan dari Gubernur Jendral Hindia Belanda di Batavia. Sultan Abu Fadhl Muhammad Yahya diangkat mengantikan Sultan Haji namun hanya berkuasa sekitar tiga tahun, selanjutnya digantikan oleh saudaranya Pangeran Adipati dengan gelar Sultan Abul Mahasin Muhammad Zainul Abidin dan kemudian dikenal juga dengan gelar Kang Sinuhun ing Nagari Banten.

Perang saudara yang berlangsung di Banten meninggalkan ketidakstabilan pemerintahan masa berikutnya. Konflik antara keturunan penguasa Banten maupun gejolak ketidakpuasan masyarakat Banten, atas ikut campurnya VOC dalam urusan Banten. Perlawanan rakyat kembali memuncak pada masa akhir pemerintahan Sultan Abul Fathi Muhammad Syifa Zainul Arifin, di antaranya perlawanan Ratu Bagus Buang dan Kyai Tapa. Akibat konflik yang berkepanjangan Sultan Banten kembali meminta bantuan VOC dalam meredam beberapa perlawanan rakyatnya sehingga sejak 1752 Banten telah menjadi bagian dari VOC.

Penghapusan kesultanan Banten


Pada tahun 1808 Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1808-1810, memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos untuk mempertahankan pulau Jawa dari serangan Inggris. Daendels memerintahkan Sultan Banten untuk memindahkan ibu kotanya ke Anyer dan menyediakan tenaga kerja untuk membangun pelabuhan yang direncanakan akan dibangun di Ujung Kulon. Sultan menolak perintah Daendels, sebagai jawabannya Daendels memerintahkan penyerangan atas Banten dan penghancuran Istana Surosowan. Sultan beserta keluarganya disekap di Puri Intan (Istana Surosowan) dan kemudian dipenjarakan di Benteng Speelwijk. Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin kemudian diasingkan dan dibuang ke Batavia. Pada 22 November 1808, Daendels mengumumkan dari markasnya di Serang bahwa wilayah Kesultanan Banten telah diserap ke dalam wilayah Hindia Belanda.

Kesultanan Banten resmi dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris. Pada tahun itu, Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin dilucuti dan dipaksa turun tahta oleh Thomas Stamford Raffles. Peristiwa ini merupakan pukulan pamungkas yang mengakhiri riwayat Kesultanan Banten.

Agama di Banten


Berdasarkan data arkeologis, masa awal masyarakat Banten dipengaruhi oleh beberapa kerajaan yang membawa keyakinan Hindu-Budha, seperti Tarumanagara, Sriwijaya dan Kerajaan Sunda.

Dalam Babad Banten menceritakan bagaimana Sunan Gunung Jati bersama Maulana Hasanuddin, melakukan penyebaran agama Islam secara intensif kepada penguasa Banten Girang beserta penduduknya. Beberapa cerita mistis juga mengiringi proses islamisasi di Banten, termasuk ketika pada masa Maulana Yusuf mulai menyebarkan dakwah kepada penduduk pedalaman Sunda, yang ditandai dengan penaklukan Pakuan Pajajaran.

Islam menjadi pilar pendirian Kesultanan Banten, Sultan Banten dirujuk memiliki silsilah sampai kepada Nabi Muhammad, dan menempatkan para ulama memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan masyarakatnya, seiring itu tarekat maupun tasawuf juga berkembang di Banten. Sementara budaya masyarakat menyerap Islam sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Beberapa tradisi yang ada dipengaruhi oleh perkembangan Islam di masyarakat, seperti terlihat pada kesenian bela diri Debus.

Kadi memainkan peranan penting dalam pemerintahan Kesultanan Banten, selain bertanggungjawab dalam penyelesaian sengketa rakyat di pengadilan agama, juga dalam penegakan hukum Islam seperti hudud.

Toleransi umat beragama di Banten, berkembang dengan baik. Walau didominasi oleh muslim, namun komunitas tertentu diperkenankan membangun sarana peribadatan mereka, di mana sekitar tahun 1673 telah berdiri beberapa klenteng pada kawasan sekitar pelabuhan Banten.

Kependudukan di Banten


Kemajuan Kesultanan Banten ditopang oleh jumlah penduduk yang banyak serta multi-etnis. Mulai dari Jawa, Sunda dan Melayu. Sementara kelompok etnis nusantara lain dengan jumlah signifikan antara lain Makasar, Bugis dan Bali.

Dari beberapa sumber Eropa disebutkan sekitar tahun 1672, di Banten diperkirakan terdapat antara 100.000 sampai 200.000 orang lelaki yang siap untuk berperang, sumber lain menyebutkan, bahwa di Banten dapat direkrut sebanyak 10.000 orang yang siap memanggul senjata. Namun dari sumber yang paling dapat diandalkan, pada Dagh Register-(16.1.1673) menyebutkan dari sensus yang dilakukan VOC pada tahun 1673, diperkirakan penduduk di kota Banten yang mampu menggunakan tombak atau senapan berjumlah sekita 55.000 orang. Jika keseluruhan penduduk dihitung, apa pun kewarganegaraan mereka, diperkirakan berjumlah sekitar 150.000 penduduk, termasuk perempuan, anak-anak, dan lansia.

Sekitar tahun 1676 ribuan masyarakat Cina mencari suaka dan bekerja di Banten. Gelombang migrasi ini akibat berkecamuknya perang di Fujian serta pada kawasan Cina Selatan lainnya. Masyarakat ini umumnya membangun pemukiman sekitar pinggiran pantai dan sungai serta memiliki proporsi jumlah yang signifikan dibandingkan masyarakat India dan Arab. Sementara di Banten beberapa kelompok masyarakat Eropa seperti Inggris, Belanda, Perancis, Denmark dan Portugal juga telah membangun pemondokan dan gudang di sekitar Ci Banten.

Perekonomian Banten


Dalam meletakan dasar pembangunan ekonomi Banten, selain di bidang perdagangan untuk daerah pesisir, pada kawasan pedalaman pembukaan sawah mulai diperkenalkan. Asumsi ini berkembang karena pada waktu itu di beberapa kawasan pedalaman seperti Lebak, perekonomian masyarakatnya ditopang oleh kegiatan perladangan, sebagaimana penafsiran dari naskah sanghyang siksakanda ng karesian yang menceritakan adanya istilah pahuma (peladang), panggerek (pemburu) dan panyadap (penyadap). Ketiga istilah ini jelas lebih kepada sistem ladang, begitu juga dengan nama peralatanya seperti kujang, patik, baliung, kored dan sadap.

Pada masa Sultan Ageng antara 1663 dan 1667 pekerjaan pengairan besar dilakukan untuk mengembangkan pertanian. Antara 30 dan 40 km kanal baru dibangun dengan menggunakan tenaga sebanyak 16.000 orang. Di sepanjang kanal tersebut, antara 30 dan 40.000 ribu hektare sawah baru dan ribuan hektare perkebunan kelapa ditanam. 30.000-an petani ditempatkan di atas tanah tersebut, termasuk orang Bugis dan Makasar. Perkebunan tebu, yang didatangkan saudagar Cina pada tahun 1620-an, dikembangkan. Di bawah Sultan Ageng, perkembangan penduduk Banten meningkat signifikan.

Tak dapat dipungkiri sampai pada tahun 1678, Banten telah menjadi kota metropolitan, dengan jumlah penduduk dan kekayaan yang dimilikinya menjadikan Banten sebagai salah satu kota terbesar di dunia pada masa tersebut.

Pemerintahan Banten


Setelah Banten muncul sebagai kerajaan yang mandiri, penguasanya menggunakan gelar Sultan, sementara dalam lingkaran istana terdapat gelar Pangeran Ratu, Pangeran Adipati, Pangeran Gusti, dan Pangeran Anom yang disandang oleh para pewaris. Pada pemerintahan Banten terdapat seseorang dengan gelar Mangkubumi, Kadi, Patih serta Syahbandar yang memiliki peran dalam administrasi pemerintahan. Sementara pada masyarakat Banten terdapat kelompok bangsawan yang digelari dengan tubagus (Ratu Bagus), ratu atau sayyid, dan golongan khusus lainya yang mendapat kedudukan istimewa adalah terdiri atas kaum ulama, pamong praja, serta kaum jawara.

Pusat pemerintahan Banten berada antara dua buah sungai yaitu Ci Banten dan Ci Karangantu. Di kawasan tersebut dahulunya juga didirikan pasar, alun-alun dan Istana Surosowan yang dikelilingi oleh tembok beserta parit, sementara disebelah utara dari istana dibangun Masjid Agung Banten dengan menara berbentuk mercusuar yang kemungkinan dahulunya juga berfungsi sebagai menara pengawas untuk melihat kedatangan kapal di Banten.

Berdasarkan Sejarah Banten, lokasi pasar utama di Banten berada antara Masjid Agung Banten dan Ci Banten, dan dikenal dengan nama Kapalembangan. Sementara pada kawasan alun-alun terdapat paseban yang digunakan oleh Sultan Banten sebagai tempat untuk menyampaikan maklumat kepada rakyatnya. Secara keseluruhan rancangan kota Banten berbentuk segi empat yang dpengaruhi oleh konsep Hindu-Budha atau representasi yang dikenal dengan nama mandala. Selain itu pada kawasan kota terdapat beberapa kampung yang mewakili etnis tertentu, seperti Kampung Pekojan (Persia) dan Kampung Pecinan.

Kesultanan Banten telah menerapkan cukai atas kapal-kapal yang singah ke Banten, pemungutan cukai ini dilakukan oleh Syahbandar yang berada di kawasan yang dinamakan Pabean. Salah seorang syahbandar yang terkenal pada masa Sultan Ageng bernama Syahbandar Kaytsu.

Warisan sejarah Banten


Setelah dihapuskannya Kesultanan Banten, wilayah Banten menjadi bagian dari kawasan kolonialisasi. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, tahun 1817 Banten dijadikan keresidenan, dan sejak tahun 1926 wilayah tersebut menjadi bagian dari Provinsi Jawa Barat. Kejayaan masa lalu Kesultanan Banten menginspirasikan masyarakatnya untuk menjadikan kawasan Banten kembali menjadi satu kawasan otonomi, reformasi pemerintahan Indonesia berperan mendorong kawasan Banten sebagai provinsi tersendiri yang kemudian ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2.000. Selain itu masyarakat Banten telah menjadi satu kumpulan etnik tersendiri yang diwarnai oleh perpaduan antar-etnis yang pernah ada pada masa kejayaan Kesultanan Banten, dan keberagaman ini pernah menjadikan masyarakat Banten sebagai salah satu kekuatan yang dominan di Nusantara.

Daftar penguasa Banten

  • Maulana Hasanuddin atau Pangeran Sabakingkin 1552 - 1570
  • Maulana Yusuf atau Pangeran Pasareyan 1570 - 1585
  • Maulana Muhammad atau Pangeran Sedangrana 1585 - 1596
  • Sultan Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir atau Pangeran Ratu 1596 - 1647
  • Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad 1647 - 1651
  • Sultan Ageng Tirtayasa atau Sultan Abu al-Fath Abdul Fattah 1651-1682
  • Sultan Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul Qahar 1683 - 1687
  • Sultan Abu Fadhl Muhammad Yahya 1687 - 1690
  • Sultan Abul Mahasin Muhammad Zainul Abidin 1690 - 1733
  • Sultan Abul Fathi Muhammad Syifa Zainul Arifin 1733 - 1747
  • Ratu Syarifah Fatimah 1747 - 1750
  • Sultan Arif Zainul Asyiqin al-Qadiri 1753 - 1773
  • Sultan Abul Mafakhir Muhammad Aliuddin 1773 - 1799
  • Sultan Abul Fath Muhammad Muhyiddin Zainussalihin 1799 - 1803
  • Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin 1803 - 1808
  • Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin 1809 - 1813